Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

Anak Bertanya Pada Ayah













Ini adalah kisah seorang anak SD yang mengeluh pada ayahnya.
Kita tahu anak kecil (usia SD) masih lugu dan polos.
Berikut kisah lengkapnya:

Pagi itu dalam kelas 5 (lima) SD adalah hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang kenaikan kelas.
Guru yang mengajar pun sudah ganti dengan guru kelas 5 (lima). Sehingga belum ada kepengurusan kelas, mulai dari ketua, wakil, sekretaris, bendahara, dan jadwal piket kebersihan.
Langsung saja guru memandu siswa-siswa untuk memilih pengurus yang dimaksud.
Tentu posisi ketua kelas adalah posisi yang sangat diinginkan siswa agar terlihat "keren".
Kebetulan Andi adalah siswa juara kelas dan punya keinginan ditunjuk sebagai ketua kelas. 
Sedangkan Anto adalah siswa biasa, jarang menonjol di kelas.
Tanpa dinyana dan di luar prediksi Andi, sebagian teman kelas mengajukan Anto untuk dipilih guru menjadi ketua kelas selain Andi.
Dalam hati Andi merasa lebih baik dari Anto.
Namun, ternyata guru lebih memilih SI Anto menjadi ketua kelas dari pada Andi.
Wah, betapa kecawa dan sedihlah Andi menerima keputusan guru.
Ada perasaan tidak terima.

Mengapa Anto yang terpilih?

Mengapa tidak aku saja?

Apa hebatnya Anto dibanding aku (sang juara kelas)?

Apa guru tidak salah pilih?

Semua pertanyaan-pertanyaan itu terus berkecamuk di pikiran.
Mau bagaimana lagi coba?
Keputusan sudah diambil, mau tidak mau harus diterima.
Sampai di rumah, ayahnya pun menjadi sasaran luapan ketidak terimaan Andi atas pemilihan ketua kelas.

Andi, "Ayah mengapa Anto yang terpilih jadi ketua kelas? Mengapa tidak aku saja. Aku kan juara kelas." 
Ayah,"Kenapa kamu ingin menjadi ketua kelas, nak?"
Andi, "Karena dengan menjadi ketua kelas, aku bisa memberikan manfaat dan contoh bagi teman yang lain, ayah."
Ayah, "Ooo,.. begitu ya!"
Kemudian sang ayah mengajak Andi makan siang dulu. Menu yang tersedia adalah sayur sop dengan lauk ikan dan tempe goreng lengkap dengan sambal kecap.
Kemudian ayah melanjutkan pembicaraannya:
Ayah, "Nak, apakah rasa sayur sop ini rasanya gurih?"
Andi, "Benar, ayah"
Ayah, "Apa yang membuatnya gurih?"
Andi, "Bumbu dong yah, ada bawang merah, bawang putih, dan lain-lain."
Ayah, "Tepat, tapi ada yang masih kurang, yaitu garam. Apakah garam nampak dalam sayur itu?"
Andi, "Tidaklah."
Ayah, "Posisikanlah dirimu layaknya garam itu"

Karena Andi bingung, maka ayah menjelaskan makna perkataan.
Maksudnya seperti garam ialah tidak harus terlihat agar bisa memberi manfaat pada orang lain. Tidak usah menunggu jabatan biar bisa berkontribusi dalam kehidupan.
Lakukan saja tindakan nyata yang berguna bagi orang lain, itu sudah lebih dari cukup.

Itu dulu ceritaku, 
Terima kasih sudah mau membacanya.
Akan segera hadir Artikel berikutnya.